Halaman

Minggu, 26 Oktober 2014

Abu Nawas Menagkap Angin

Abu Nawas Menagkap Angin
Abu Nawas kaget bukan main ketika seorang
utusan Baginda Raja datang ke rumahnya. Ia
harus menghadap Baginda secepatnya. Entah
permainan apa lagi yang akan dihadapi kali ini.
Pikiran Abu Nawas berloncatan ke sana kemari.
Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut
Abu Nawas dengan sebuah senyuman.
"Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan
perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan
angin." kata Baginda Raja memulai pembicaraan.
"Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan
hingga hamba dipanggil." tanya Abu Nawas.
"Aku hanya menginginkan engkau menangkap
angin dan memenjarakannya." kata Baginda. Abu
Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar
dari mulutnya. Ia tidak memikirkan bagaimana
cara menangkap angin nanti, tetapi ia bingung
bagaimana cara membuktikan bahwa yang
ditangkap itu memang benar-benar angin.
Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda
yang lebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya
air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa
dilihat. Sedangkan angin tidak. Baginda hanya
memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga
hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan
rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas
tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah
merupakan bagian dari hidupnya, bahkan
merupakan suatu kebutuhan. Ia yakin bahwa
dengan berpikir akan terbentang jalan keluar
dari kesulitan yang sedang dihariapi. Dan dengan
berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan
sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan
terutama orang-orang miskin. Karena tidak
jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh
uang emas hadiah dari Baginda Raja atas
kecerdikannya.
Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga
mendapat akal untuk menangkap angin apalagi
memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari
terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja.
Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar -
benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap.
Mungkin sudah takdir; kayaknya kali ini Abu
Nawas harus menjalani hukuman karena gagal
melaksanakan perintah Baginda, Ia berjalan
gontai menuju istana. Di sela-sela
kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu,
yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.
"Bukankah jin itu tidak terlihat?" Abu Nawas
bertanya kepada diri sendiri. ia berjingkrak
girang dan segera berlari pulang. Sesampai di
rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala
sesuatunya kemudian manuju istana. Di pintu
gerbang istana Abu Nawas langsung
dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena
Baginda sedang menunggu kehadirannya. Dengan
tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada
Abu Nawas.
"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin,
hai Abu Nawas? "
"Sudah Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas
dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan
botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas
menyerahkan botol itu. Baginda menimbang-
nimang batol itu.
"Mana angin itu, hai Abu Nawas?" tanya
Baginda. Di dalam, Tuanku yang mulia." jawab
Abu Nawas penuh takzim. "Aku tak melihat apa-
apa." kata Baginda Raja.
"Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat,
tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol
itu harus dibuka terlebih dahulu." kata Abu
Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka.
Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang
begitu menyengat hidung.
"Bau apa ini, hai Abu Nawas?" tanya Baginda
marah. "Ampun Tuanku yang mulia, tedi hamba
buang angin dan hamba. masukkan ke dalam
botol. Karena hamba takut angin yang hamba
buang itu keluar maka hamba memenjarakannya
dengan cara menyumbat mulut botol." kata Abu
Nawas ketakutan.
Tetapi Baginda tidak jadi marah karena
penjelasan Abu Nawas memang masuk akal.
"Heheheheh kau memang pintar Abu Nawas."
Tapi... jangan keburu tertawa dulu, dengar dulu
apa kata Abu Nawas. "Baginda...!"
"Ya Abu Nawas!"
"Hamba sebenarnya cukup pusing memikirkan
cara melaksanakan tugas memenjarakan angin
ini."
"Lalu apa maksudmu Abu Nawas?"
"Hamba. minta ganti rugi."
"Kau hendah memeras seorang Raja?"
"Oh, bukan begitu Baginda."
"Lalu apa maumu?"
"Baginda harus memberi saya hadiah berupa uang
sekedar untuk bisa belanja dalam satu bulan."
"Kalau tidak?" tantang Baginda.
"Kalau tidak... hamba akan menceritakan kepada
khalayak ramai bahwa Baginda telah dengan
sengaja mencium kentut hamba!"
"Hah?" Baginda kaget dan jengkel tapi kemudian
tertawa terbahak-bahak. "Baik permintaanmu
kukabulkan!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar